Teks Negosiasi
A. Mengevaluasi
Teks Negosiasi
Pada
dasarnya, negosiasi ialah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna
mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan
pihak (kelompok atau organisasi) lain.
Tujuan
negosiasi ialah mengatasi atau menyesuaikan perbedaan, untuk memperoleh sesuatu
dari pihak lain (yang tidak dapat dipaksakan). Negoisasi dilakukan untuk
mencapai kesepakatan yang dapat diterima kedua belah pihak dalam melakukan
transaksi, atau menyelesaikan sengketa/perselisihan pendapat.
·
Merumuskan
Ciri Teks Negosiasi
Untuk
mengetahui apakah sebuah teks termasuk teks negosiasi atau bukan, berikut ini
disajikan unsur-unsur yang harus ada dalam debat.
(a). Partisipan, biasanya pihak
yang menyampaikan pengajuan dan pihak yang menawar. Pada beberapa negosiasi
untuk memecahkan konflik atau pertikaian ada partisipan ketiga yang berperan
sebagai perantara, penengah, atau pemandu.
(b). Adanya perbedaan kepentingan
dari kedua belah pihak.
(c). Ada pengajuan dan penawaran.
(d). Ada kesepakatan sebagai
hasil negosiasi. Ketika tidak tercapai kesepakatan berarti tidak terjadi
negosiasi.
Teks 1
Pembeli : “Berapa harga sekilo
mangga ini, Bang?”
Penjual : “Tiga puluh ribu, Bu.
Murah.”
Pembeli : “Boleh kurang kan, bang?”
Penjual : “Belum boleh, Bu.
Barangnya bagus lho, Bu. Ini bukan karbitan. Matang pohon.”
Pembeli : “Iya,
Bang, tapi harganya boleh kurang kan? Kan lagi musim, Bang. Dua puluh ribu saja
ya?”
Penjual : “Belum
boleh, Bu. Dua puluh delapan ribu, ya, Bu. Biar saya dapat untung, Bu.”
Pembeli :
“Baiklah, tapi saya boleh milih sendiri, kan Bang?”
Penjual : “Asal
jangan pilih yang besar-besar, Bu. Nanti saya bisa rugi.”
Pembeli : “Iya,
Bang. Yang penting saya dapat mangga yang bagus dan tidak busuk.”
Penjual : “Saya
jamin, Bu. Kalau ada yang busuk boleh ditukarkan.”
Pembeli :
“Baiklah, saya ambil 3 kilo ya Pak.”
Akhirnya,
penjual mempersilakan pembeli untuk memilih dan menimbang sendiri mangga yang
dibelinya
Teks 2:
HP Baru
Perihal
HP barunya itu, sesungguhnya sudah lama Rani menginginkannya. Beberapa
kali ia membujuk Ayahnya agar dibelikan HP. Gagal meminta langsung pada
Ayahnya, Rani pun minta bantuan ibunya. Namun, tetap saja usaha Rani gagal
Minggu
lalu, Rani benar-benar berusaha meyakinkan Ayahnya betapa ia sangat membutuhkan
HP.
“Yah
... Rani benar-benar perlu HP. Belikan ya Yah?” kata Rani pada Ayahnya.
“Ayah
belum punya cukup uang untuk membeli HP, Ran. Lagipula kan sudah ada
telepon rumah,” kata Ayah sambil meletakkan koran ke atas meja.
“Tapi,
Yah ... semua teman Rani punya HP. Mereka dapat dengan mudah menelpon
orang tuanya saat terpaksa pulang telat.”
“Lha
kalau begitu kamu jangan pulang telat,” kata Ayah lagi.
Rani
hampir saja menangis.
“Tak
hanya itu, Yah ... Rani iri sama teman-teman Rani yang dapat dengan mudah
mengunduh materi pembelajaran, ngirim tugas, bahkan berdiskusi untuk
mengerjakan tugas-tugas tanpa harus keluar rumah,” kata Rani dengan kalimat
yang runtut dan jelas. Kalimat yang sudah beberapa hari ia rancang untuk merayu
Ayahnya.
Mendengar
penjelasan Rani, Ayah melepas kaca matanya dan menatap Rani dengan lembut. “Sebegitu
pentingkah HP itu bagimu, Nak?”
Rani
hampir saja melonjak kegirangan mendengar reaksi Ayahnya.
“Iya
Yah. Apalagi guru-guru sering menugaskan kami untuk mengirim tugas ke grup facebook
atau mengunggah tugas di blog. Kalau Rani punya HP kan enak. Bisa
buat diskusi bareng teman-teman sekaligus dapat mengakses internet
melalui HP.”
“Hm
... Ayah akan membelikan HP untuk Rani, asal ....” Ayah seakan sengaja
menggoda Rani. “Asal apa Yah?” tanya Rani tak sabar.
“Asal
Rani rajin belajar dan berjanji akan menggunakan HP itu untuk hal-hal
yang positif.” “Rani janji, Yah. Makasih ya Ayah,” janji Rani sambil memeluk
Ayahnya.
Teks 3:
Terima
Kasih Bu Mia
Kamis pagi usai
pelajaran olah raga, Bu Mia, guru Kimia masuk kelas X MIPA tepat waktu. Tak
seperti biasanya, hari itu anak-anak belum selesai berganti pakaian.
Penyebabnya, mereka baru saja mengikuti ujian lari mengelilingi stadion.
Sebenarnya
hari itu Bu Mia akan memberikan ulangan. Beberapa siswa yang nafasnya masih
memburu dan keringatnya bercucuran, mengajukan usul pada Dani.
“Dan
... minta Bu Mia menunda ulangan dong. Capek nih,” kata Ali.
“Waduuuh
aku gak berani,” jawab Dani. “Lia saja suruh bilang. Dia kan ketua kelas, ”
sambung Dani.
“Baiklah,
aku akan mencoba merayu Bu Mia. Doakan berhasil,” kata Lia.
“Beres.
Kamu kan ketua kelas.”
Dengan
santun, Lia menghadap Bu Lia yang wajahnya tampak kaku melihat murid-muridnya
belum juga siap mengikuti pelajaran.
“Maaf,
Bu. Boleh Lia berbicara sebentar?” tanya Lia sambil duduk.
“Iya.
Ada apa?”
“Begini,
Bu, saya mewakili teman-teman, Lia minta maaf kaena teman-teman belum selesai
ganti baju. “
“Biasanya
kan tidak terlambat seperti ini?” tanya Bu Mia.
“Iya,
Bu. Sekali lagi maafkan, kami. Kami kelelahan, Bu. Tadi baru saja ujian lari
mengelilingi stadion 2 kali.”
“Oh
... kenapa tidak bilang tadi? Kalian sudah minum?” suara Bu Mia berubah ramah
setelah tahu penyebab Lia dan kawan-kawannya terlambat ganti baju.
“Belum
sempat, Bu. Kami takut ketinggalan ulangan,” jawab Lia tetap dengan sopan.
“Kalau boleh, kami minta waktu sepuluh menit untuk minum dan ganti baju, Bu.
Biar badan kami segar.”
“Ya
sudah, kalian istirahat 15 menit. Ulangannya minggu depan saja. Nanti kita
latihan soal saja,” jawab Bu Lia mengagetkan Mia dan teman-teman.
“Makasih,
Bu,” kata Lia.
“Eit
... tapi ingat. Kalian harus tertib. Tidak boleh gaduh dan mengganggu kelas
lain. Dan masuk kelas lagi tepat pukul 09.00 WIB.”
“Iya,
Bu. Makasih.”
Teman-teman
Lia yang sejak tadi ikut menyimak pembicaraan Lia dan Bu Mia bertepuk tangan
gembira mendengar keputusan Bu Mia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar